Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

REAL OR UNREAL (Chapter 4 – Lantai Sebelas)

REAL OR UNREAL 

(Chapter 4 – Lantai Sebelas)

REAL OR UNREAL (Chapter 4 – Lantai Sebelas)
Gambar : Pinterest

Di tengah pengawasan, robot nyamuk yang dikendalikan oleh Ruby berada dalam lift, bersiaga. Ia mencurigai ada sesuatu yang janggal. Sementara itu, Tia sedang mengontrol robot semutnya untuk menggali dinding seperti seekor semut yang menjelajah tanah.

Tiba-tiba, terlihat seorang pria tua mengenakan jas berjalan menuju lift. Ia menekan tombol lantai 2 sebanyak tiga kali. Tak lama, pintu lift terbuka.

"Tia, lihat ini!" seru Ruby.

"Ada apa?" tanya Tia

"Akhirnya, kita punya petunjuk!" Ruby menunjuk kearah bapak tua itu

"bapak itu?"

"Dia menekan tombol dua sebanyak tiga kali."

"Hah?"

"I don't understand..."

"2 + 2 + 2 = 6?" Tia mulai berpikir dengan keras

"2 × 2 × 2 = 8?" sambung Ruby yang ikut menghitung

"Terus, apa hubungannya dengan enam atau delapan?" Tanya Tia yang masih belum mengerti

Ruby menggeleng,ia masih belum menemukan jawabannya.

"Kalau dibagi, gimana?"

"Berapa?"

"22 dibagi 2?"

Tia dan Ruby menatap satu sama lain. "11?!"

"Jadi... ini lantai sebelas yang disembunyikan!" Ruby langsung bergerak cepat, menjelajahi lantai 11 yang luas.

Di sana terdapat 18 ruangan. Di ruangan pertama dan kedua, Ruby melihat tumpukan senjata. Terlihat jelas bahwa keamanan perusahaan Sehat Farma sangat ketat. Ia lanjut ke ruangan ketiga—terdapat tujuh remaja berusia sekitar 16 hingga 18 tahun.

"Untuk apa anak-anak ini...?" gumam Ruby.

Ruangan keempat membuatnya lebih bingung. Ada mata, jantung, ginjal, dan beberapa organ lainnya.

"Ini... mata beneran?" gumam Ruby

"Kenapa?" tanya Tia.

"Sepertinya ini ruang penyimpanan organ dalam."

"Mungkin... toh perusahaan ini kerja sama dengan rumah sakit, kan?."

"Iya juga sih..." Ruby mengangguk.

Ruby melanjutkan ke ruangan kelima hingga ketujuh—dipenuhi obat-obatan. Ruangan kedelapan kembali menunjukkan para remaja seperti di ruangan ketiga. Di ruangan kesembilan, suasananya seperti ruang operasi lengkap dengan alat-alat bedah. Ruangan kesepuluh kembali berisi organ-organ. Di ruangan kesebelas, Ruby melihat 12 remaja dewasa yang terluka parah, dan tiga pria paruh baya yang tampak lemas.

"Ruang apa ini...?" gumamnya sambil meneliti satu per satu wajah mereka, berharap menemukan Ji-hoon.

Namun Ji-hoon belum juga terlihat. Di ruangan ke-12 dan ke-13, ia menemukan ruang penyiksaan. Ruang ke-14 adalah toilet. Di ruangan ke-15, beberapa orang tampak sekarat.

"Tia, ini Ji-hoon, bukan?!"

"Yang mana??"

Tia terkejut—ternyata benar. Ji-hoon terlihat sangat lemas, tubuhnya penuh luka.

"Kita harus menyelamatkannya!" seru Tia yang tampak panik melihat kondisi ji-hoon

"Tapi kita belum cukup kuat untuk menyerang perusahaan itu..."

"Iya sih... Tapi kalau kita diam aja, Kak Ji-hoon bisa mati!"

"Gini aja, kita cari tahu siapa musuh perusahaan ini. Musuhnya musuh adalah teman, kan?" saran Ruby.

"BTW, aku pamit dulu. Aku ada janji sama Profesor Kelly buat bikin robot baru."

"Oke..."

"Keep pushing! " ruby menyemangati Tia

Tiga hari kemudian...

Mereka akhirnya mengetahui bahwa pesaing utama Sehat Farma adalah perusahaan Herbal Farma, yang ternyata dimiliki oleh teman sekelas mereka: Levi. Setelah berbicara panjang lebar, Tia berhasil menemui ayah Levi.

"Aku menerima ini karena Ji-hoon adalah orang yang memiliki jasa besar pada perusahaan ini."

"Tapi jika kau berbohong, kau akan menanggung akibatnya."lanjutnya

"Baiklah."

"Aku akan mengirim orang. Kalian harus bersiap."

Lokasi pertemuan: Sebuah kafe sepi.

Tidak biasanya kafe ini sepi, hanya terlihat karyawan. Di sudut kiri kafe, seorang gadis tengah fokus menatap ponselnya. Tia mendekatinya.

"Udah lama datang?"

"Baru aja..." jawab ruby yang sibuk dengan ponselnya

"Ngapain?" Tanya Tia yang penasaran dengan apa yang di perhatikan oleh ruby

"Baca argumen perusahaan soal Sehat Farma."

"em…?"

"Mereka perusahaan top di bidang obat. Lengkap banget. Bahkan kasus kecelakaan besar pun bisa mereka tangani." Jelas Ruby

"Ya iyalah, organ aja punya stok."

"Hati-hati ngomong! Nanti kedengeran." tegur Ruby.

Tiba-tiba, tiga remaja masuk. Tia melambaikan tangan ke arah mereka. Mereka duduk.

"Jadi kalian anggota pasukan elit?"

"Iya, tapi masih ada dua orang lagi dan satu intel."

"Aku Kenzo. Yang tengah Aden. Ini Raka."

"Aku Ruby.dan Ini Tia."

Setelah saling memperkenalkan diri, Tia segera menjelaskan keadaan Ji-hoon secara rinci. Tanpa membuang banyak waktu, mereka mulai menyusun rencana penyelamatan.

Tiba-tiba, terdengar nada dering dari handphone Aden.

"Aku izin angkat telepon."

"Ya, silakan."

Aden berjalan ke luar kafe, menjawab panggilan tersebut.

"Kenapa?" tanyanya lewat ponsel.

"Sepertinya kami akan sedikit terlambat," suara di seberang terdengar.

"Kenapa?"

"Di sini macet."

Setelah menutup telepon, Aden bersiap kembali ke dalam. Namun tiba-tiba, seorang lelaki berpakaian serba hitam—jaket hitam, celana hitam, bahkan masker hitam—berjalan menuju kafe dengan langkah mantap.

Aden menghentikannya di depan pintu.

"Siapa kamu?" tanyanya tegas.

"Aku Jay. Kamu siapa?"

"Aden. Apa tujuanmu ke sini?"

"Aku ingin bertemu Tia."

"Tunggu!" Aden menahan lengannya.

Jay mendengus sinis. "Cih, kenapa?" Ia menepis tangan Aden.

"Sekarang kamu nggak bisa ketemu dia."

"Kamu siapa sampai ngatur urusan aku?!"

Suara mereka mulai meninggi, terdengar sampai ke dalam kafe. Karena pembahasan strategi sudah selesai, Tia segera keluar dan menghampiri mereka.

"Jay? Kenapa kamu ke sini?"

Jay menatapnya langsung. "Aku punya sesuatu penting."

Tia menoleh ke Aden. "Dia temanku. Jadi Santai aja."

Aden menurunkan sikap waspadanya. "Okey."

"Karena Jay udah di sini juga, ya udah, kita kerja sama aja." ujar Tia sambil mengajak Jay masuk. Mereka pun kembali duduk bersama di meja sudut, formasi tim mereka kini bertambah satu.Jay mendengarkan dengan seksama dan mengikuti arahan tersebut.

Penulis : Nayla Azkia


 

 

 

Posting Komentar untuk "REAL OR UNREAL (Chapter 4 – Lantai Sebelas)"