Kisah K. H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, Sang Pembaharu Dari Kauman (Bagian 2)
Bahkan, atas dorongan para pengurus Budi Utomo sendiri Ahmad Dahlan akhirnya berhasil mendirikan sekolah di Yogyakarta, tahun 1911. Sekolah yang didirikannya itu menggunakan sistem modern, dengan memadukan pelajaran agama dan umum dalam satu paket. Tempat belajarnya menggunakan kelas, tidak surau, dan murid pria dan perempuan tak lagi dipisah.
Sebagai pembaharu, Ahmad Dahlan tak mau ketinggalan informasi, terutama dengan para pembaru yang ada di Timur Tengah. Adapun akses informasi tersebut, secara intensif dilakukan oleh Jami'at Khair. Karena itu pula, Ahmad Dahlan memasuki organisasi ini, tahun 1910. Ketika Sarekat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.
Rupanya, dengan masuk ke Budi Utomo, Jami'at Khair, dan Sarekat Islam, dakwah yang dilakukan Ahmad Dahlan meluas, dan mendapat dukungan dari banyak pihak. Ide-ide pambaruannya juga didukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Maka, setelah mendapat masukan dan dukungan dari berbagai pihak, pada 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur Tengah, K.H.Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.
Adapun misi dakwah yang pertama dari Muhammadiyah adalah kembali ke Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Ia melihat, bahwa umat Islam telah jauh melenceng dari apa yang digariskan oleh Nabi Muhammad saw. Pada saat yang bersamaan, sistem pendidikan yang membuat mereka kembali ke ajaran yang benar, masih minim jumlahnya. Karena itu, tugas Muhamamdiyah, selain memperbaiki keimanan melalui pendidikan, ia juga berdakwah dengan karya nyata.
Sebagai organisasi masyarakat yang berbasiskan agama, apalagi ajarannya adalah untuk kembali pada sımber aslinya, Al-Qur`an dan Al-Hadits, di tengah-tengah masyarakat yang berpesta dengan takhayul, bidah, dan churafat (TBC), bukan kecil hambatan, rintangan, yang mesti dihadapinya. Cobaan demi cobaan silih berganti, tidak hanya dari lingkungan keluarga, tapi juga lingkungan sosialnya.
Bagi Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapa-pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, Ahmad Dahlan tak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur`'an, tapi ia lebih banyak mempraktikkannya dalam amal nyata.
Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah al-Ma'un yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslimin agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Aplikasi surah al-Ma'un ini adalah terealisirnya rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
Pendirian rumah-rumah yang menampung anak-anak yatim dan orang-orang miskin, terjadi di zaman penjajahan. Akibat kolonialisme yang menjerat ekonomi rakyat, kemiskinan merajalela. Ketika zaman Jepang, tahun 1942-1945, kondisi rakyat Indonesia semakin parah. Ini antara lain nampak dengan adanya institusi romusja, yang merupakan lembaga pekerja paksa untuk usaha perang Jepang di Indonesia. Akibat romusja ini, dimana banyak yang meningggal dunia, anak-anak menjadi yatim, jumlah janda terus bertambah, kemiskinan semakin melilit. Inilah yang mendorong Muhammadiyah akhirnya mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem di Panarukan, Jawa Timur.
Ketika menerapkan Al-Qur`an surah 26 ayat 80, yang menyatakan bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, Muhammadiyah mendirikan balai kesehatan masyarakat atau rumah sakit-rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk memberi perawatan pada masyarakat umum, bahkan yang miskin digratiskan, juga untuk memberi penyuluhan, belapa pentingnya arti sehat. Berbagai bentuk penyuluhan diselenggarakan, agar masyarakat bisa hidup secara sehat, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bila umat sehat, mereka akan jadi produktif yang manfaatnya untuk keluarga, umat dan negara.
Al-Qur'an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, buta huruf diberantas. Bila umat tak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan-tentang agamanya. Dari lembaga pendidikan ini muncul pula bahan-bahan bacaan, dalam bentuk buku-buku, koran, dan sejenisnya. Inilah yang terjadi pada tahun 1920 sampai 1930-an. Dengan melek huruf, mereka bisa baca, dan ketika sudah mampu membaca, mereka bisa melihat dunia. Membaca, kata pepatah, adalah jendela dunia.
Amal nyata Muhammadiyah yang dikomandoi oleh Ahmad Dahlan, tak pernah lepas dari tiga unsur di atas : rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dan itu terus dilakukan oleh generasi-generasi penerus Muhammadiyah, sampai kini.
Usaha keras yang dirintis Ahmad Dahlan akhirnya berbuah jua. Muhammadiyah menjadi pelopor organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasiskan agama, mempunyai corak pembaruan yang dinamis. Karena itu, persyarikatan Muhammadiyah itu, awalnya, lebih diminati oleh orang-orang perkotaan dan yang berpendidikan.
Akan tetapi, seiring dengan meluasnya lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah, sampai pelosok-pelosok, Ormas Islam yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu kini tidak hanya dikenal sebagai organisasi milik orang perkotaan saja. Dikhotomi kota dan desa tak lagi relevan buat Muhammadiyah, kini. Sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada 23 Februari 1923, Ahmad Dahlan meninggal dunia, juga di Kauman, Yogyakarta, tempat dimana ia pernah dilahirkan pada tahun 1868.
Kehadiran Ahmad Dahlan di pentas dakwah Indonesia memberi warisan tidak hanya berupa bangunan-bangunan fisik seperti panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah, tapi juga sebuah sikap adanya dialog untuk memperkecil perbedaan. Sikap dialog ini akhirnya menimbulkan sikap ramah, sekaligus sikap peka pada lingkungan sosialnya.
Dalam sejarah hidupnya kita bisa mengetahui bahwa Ahmad Dahlan sangat terbuka untuk menerima masukan, bahkan kritikan. Amal-amal nyatanya adalah sebagai buah dari dialog-dialog yang ia lakukan dengan berbagai kalangan, tidak hanya di lingkungan interen Muhammadiyah atau umat Islam pada umumnya, tapi juga dengan kalangan non Muslim. Tentu saja, dengan melakukan dialog-dialog itu kesempatannya untuk melakukan dakwah, terbuka.
Dengan keterbukaan yang diaplikasikan dalam bentuk dialog-dialog, kita bisa menyaksikan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah di periode awal dikenal sebagai gerakan pembaharu yang terus menerus berinovasi. Kreatifitas dan amal nyata adalah buah dari dialog-dialog tersebut. Dan ini akan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik secara individu maupun institusi.
Ke Bagian 1
Sumber : Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Herri Mohammad, dkk
Gambar : K.H. Ahmad Dahlan (Istimewa)
Sebagai pembaharu, Ahmad Dahlan tak mau ketinggalan informasi, terutama dengan para pembaru yang ada di Timur Tengah. Adapun akses informasi tersebut, secara intensif dilakukan oleh Jami'at Khair. Karena itu pula, Ahmad Dahlan memasuki organisasi ini, tahun 1910. Ketika Sarekat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.
Rupanya, dengan masuk ke Budi Utomo, Jami'at Khair, dan Sarekat Islam, dakwah yang dilakukan Ahmad Dahlan meluas, dan mendapat dukungan dari banyak pihak. Ide-ide pambaruannya juga didukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Maka, setelah mendapat masukan dan dukungan dari berbagai pihak, pada 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur Tengah, K.H.Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.
Adapun misi dakwah yang pertama dari Muhammadiyah adalah kembali ke Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Ia melihat, bahwa umat Islam telah jauh melenceng dari apa yang digariskan oleh Nabi Muhammad saw. Pada saat yang bersamaan, sistem pendidikan yang membuat mereka kembali ke ajaran yang benar, masih minim jumlahnya. Karena itu, tugas Muhamamdiyah, selain memperbaiki keimanan melalui pendidikan, ia juga berdakwah dengan karya nyata.
Gambar : K.H Ahmad Dahlan (sangpencerah.id)
Bagi Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapa-pun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, Ahmad Dahlan tak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur`'an, tapi ia lebih banyak mempraktikkannya dalam amal nyata.
Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah al-Ma'un yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslimin agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Aplikasi surah al-Ma'un ini adalah terealisirnya rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
Gambar : K.H Ahmad Dahlan dan Hoofdbestuur 1918-1921
Pendirian rumah-rumah yang menampung anak-anak yatim dan orang-orang miskin, terjadi di zaman penjajahan. Akibat kolonialisme yang menjerat ekonomi rakyat, kemiskinan merajalela. Ketika zaman Jepang, tahun 1942-1945, kondisi rakyat Indonesia semakin parah. Ini antara lain nampak dengan adanya institusi romusja, yang merupakan lembaga pekerja paksa untuk usaha perang Jepang di Indonesia. Akibat romusja ini, dimana banyak yang meningggal dunia, anak-anak menjadi yatim, jumlah janda terus bertambah, kemiskinan semakin melilit. Inilah yang mendorong Muhammadiyah akhirnya mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem di Panarukan, Jawa Timur.
Baca Juga
Al-Qur'an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, buta huruf diberantas. Bila umat tak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan-tentang agamanya. Dari lembaga pendidikan ini muncul pula bahan-bahan bacaan, dalam bentuk buku-buku, koran, dan sejenisnya. Inilah yang terjadi pada tahun 1920 sampai 1930-an. Dengan melek huruf, mereka bisa baca, dan ketika sudah mampu membaca, mereka bisa melihat dunia. Membaca, kata pepatah, adalah jendela dunia.
Amal nyata Muhammadiyah yang dikomandoi oleh Ahmad Dahlan, tak pernah lepas dari tiga unsur di atas : rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dan itu terus dilakukan oleh generasi-generasi penerus Muhammadiyah, sampai kini.
Usaha keras yang dirintis Ahmad Dahlan akhirnya berbuah jua. Muhammadiyah menjadi pelopor organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasiskan agama, mempunyai corak pembaruan yang dinamis. Karena itu, persyarikatan Muhammadiyah itu, awalnya, lebih diminati oleh orang-orang perkotaan dan yang berpendidikan.
Akan tetapi, seiring dengan meluasnya lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah, sampai pelosok-pelosok, Ormas Islam yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu kini tidak hanya dikenal sebagai organisasi milik orang perkotaan saja. Dikhotomi kota dan desa tak lagi relevan buat Muhammadiyah, kini. Sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada 23 Februari 1923, Ahmad Dahlan meninggal dunia, juga di Kauman, Yogyakarta, tempat dimana ia pernah dilahirkan pada tahun 1868.
Kehadiran Ahmad Dahlan di pentas dakwah Indonesia memberi warisan tidak hanya berupa bangunan-bangunan fisik seperti panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah, tapi juga sebuah sikap adanya dialog untuk memperkecil perbedaan. Sikap dialog ini akhirnya menimbulkan sikap ramah, sekaligus sikap peka pada lingkungan sosialnya.
Dalam sejarah hidupnya kita bisa mengetahui bahwa Ahmad Dahlan sangat terbuka untuk menerima masukan, bahkan kritikan. Amal-amal nyatanya adalah sebagai buah dari dialog-dialog yang ia lakukan dengan berbagai kalangan, tidak hanya di lingkungan interen Muhammadiyah atau umat Islam pada umumnya, tapi juga dengan kalangan non Muslim. Tentu saja, dengan melakukan dialog-dialog itu kesempatannya untuk melakukan dakwah, terbuka.
Dengan keterbukaan yang diaplikasikan dalam bentuk dialog-dialog, kita bisa menyaksikan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah di periode awal dikenal sebagai gerakan pembaharu yang terus menerus berinovasi. Kreatifitas dan amal nyata adalah buah dari dialog-dialog tersebut. Dan ini akan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik secara individu maupun institusi.
Ke Bagian 1
Sumber : Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Herri Mohammad, dkk
Posting Komentar untuk "Kisah K. H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, Sang Pembaharu Dari Kauman (Bagian 2)"