Kisah K. H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, Sang Pembaharu Dari Kauman (Bagian 1)
Gambar : Wikipedia.id
Kiai Haji Ahmad Dahlan (Lahir di Kauman,Yogyakarta, tahun 1868), adalah putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, seorang khatib tetap di Masjid Agung Yogyakarta. Ketika lahir, Abu Bakar memberi nama si anak dengan Muhammad Darwis.
Di usia balita, oleh kedua orang tuanya, Darwis sudah diperkenalkan dengan pendidikan agama. Yang Pertama kali menggemblengnya adalah ayahnya sendiri, lalu para kiai di sekitar Yogyakarta. Sebagaimana umumnya anak-anak kiai, Darwis belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Dengan bekal bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama yang diperolehnya di Yogyakarta itu, pada lahun 1888, Darwis menunaikan ibadah haji, sekaligus bermukim di Mekah guna menuntut ilmu selama 4 tahun. Di bumi Mekah inilah Darwis memperdalam ilmu-ilmu ke-Islamannya, seperti, antara lain, ilmu qiraat, fikih, tasawuf, ilmu manlik, ilmu falak, akidah, dan tafsir. Pada tahun 1902, Darwis kembali ke kampung halamannya. Kali ini, ia lampil dengan nama baru : Ahmad Dahlan.
Gambar : K.H Ahmad Dahlan
Di tanah air, Dahlan hanya setahun. Soalnya, pada tahun 1903, ia kembali ke Mekah untuk masa 3 tahun, khusus mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama yang sudah ia dapatkan sebelumnya. Ia juga tercatat sebagai murid dari Syech Ahmad Khatib Minangkabau. Pada periode kedua kehadirannya di Mekkah ini, Ahmad Dahlan juga mempelajari pembaruan Islam yang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan juga Muhammad Rasyid Ridha yang dikenal dengan tafsir Al-Manarnya itu.
Dari tafsir Al-Manar pula, gagasan-gagasan pembaru memunculkan inisiatif untuk ditumbuh kembangkan di bumi Indonesia. Pada tahun 1906 Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta, dan ia menjadi guru agama di kampungnya, Kauman. Selain itu, ia juga mengajar di Kiveek School (Sekolah Raja) di Yogayakarta dan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, sebuah sekolah untuk pegawai pribumi di Magelang.
Oleh pihak Keraton Yogyakarta, Sebagai anak dari K.H. Abu Bakar yang menjadi khatib tetap di Masjid Yogyakarta, Ahmad Dahlan juga mendapat jatah yang sama. Ia dipercaya sebagai khatib tetap di Masjid Agung. Pamornya segera terlihat karena kepiawaiannya berdakwah, berwawasan luas, dan jujur. Itu sebabnya pihak Keraton Yogyakarta memberinya gelar Khatib Amin yang punya arti sebagai khatib yang dipercaya.
Gambar : K.H Ahmad Dahlan (suaramuhammadiyah.id)
Meski menjadi khatib di lingkungan Masjid Keraton, bukan berarti jiwa pembaharunya berhenti. Ia terus menerus memikirkan lingkungan yang dinilainya masih perlu banyak perbaikan di sana-sini. Salah satunya adalah tentang arah kiblat di masjid-masjid Yogyakarta termasuk Masjid Keraton yang dinilainya tidak tepat, dan karena itu perlu diubah arahnya. Tapi, karena Masjid Keraton adalah yang menjadi baromeler, maka arah kiblat di masjid ini yang pertama mesti dilakukan perubahan arah kiblatnya.
Tapi, Ahmad Dahlan tak mau mengubahnya secara dadakan. Sebagai pembaharu, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dakwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Ia yakin betul bahwa dengan cara dialog masing-masing pihak akan mendapat informasi atau pengetahuan baru. Dialog, dalam pandangan Ahmad Dahlan, adalah alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.
Itulah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Maka, pada 1898, ia mengundang para ulama dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk mendiskusikan masalah arah kiblat shalat. Terjadi diskusi yang cukup seru, muncul pro dan kontra. Ada yang setuju, tak sedikit yang ragu. Tapi, diskusi tentang arah kiblat itu cukup menguat ke arah ide Ahmad. Meski akhir dari dialog tersebut tidak membuahkan kesepakatan apa-apa, tapi atmosfirnya cukup bagus, dinamis dan ada pencerahan.
Karena tak ada kata putus itulah yang akhirnya Ahmad Dahlan membawa masalah arah kiblat tersebut ke Kepala Penghulu Keraton yang waktu itu dijabat oleh K.H. Muhammad Chalil Kamaludiningrat. Tapi Pak penghulu tak juga memberi restu. Sementara dari hari ke hari, sesuai dengan ilmu yang diyakini kebenarannya bahwa arah kiblat salah, Ahmad Dahlan semakin gelisah. Ia merasa, sebagai orang yang tahu, mestinya arah kiblat dibetulkan. Ia akhirnya sampai pada ijtihad bahwa arah kiblat yang salah mesti dibetulkan dengan cara mengubahnya, tidak sebatas wacana.
Itulah yang mendorong Ahmad Dahlan, suatu malam, secara diam-diam, bersama dengan beberapa orang pengikutnya, meluruskan kiblat dengan memberi garis putih di shaf masjid tersebut. Tentu saja tindakan ini, menurut aturan keraton, merupakan pelanggaran besar yang tak termaafkan. Ganjarannyan pun jelas: Ahmad Dahlan diberhentikan sebagai khatib di Masjid Agung Yogyakarta.
Diberhentikan sebagai khatib di Masjid Agung tak membuat dakwahnya terhenti. Bahkan, ia semakin meluaskan wilayah dakwahnya, menyentuh ke semua komunitas, baik kalangan terdidik dan priyayi maupun awam. Dengan pendekatan kemoderenan ia mulai mengajar tanpa ada hijab atau pemisah antara pria dan perempuan.
Ahmad Dahlan juga mulai memberi pengajian dikalangan ibu-ibu, dan membolehkan perempuan keluar rumah diluar urusan majelis taklim. Untuk ukuran dijamannya, langkah-langkah yang ditempuh Ahmad Dahlan terlalu maju. la pun dianggap nyleneh, kritik, kecaman dan juga ancaman bermunculan. Ahmad Dahlan, oleh para pengkriliknya, seolah dianggap keluar dari garis dakwah yang berlaku saat itu. Tapi, tekad telah bulat, dan perjuangan mesti istiqamah. Ia mensikapi semua hambatan dan rintangan itu dengan penuh kesabaran.
Guna memperluas jangkauan dakwahnya itulah Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi yang ada. Ini terlihat misalnya, ketika pada tahun 1909, Ahmad Dahlan menjadi anggota Budi Utomo, sebuah organisasi modern yang ada waktu itu. Di kalangan Budi Utomo ini, banyak kalangan terpelajar dan priyayi bergabung. Ahmad Dahlan punya misi untuk berdakwah di kalangan mereka itu. Ternyata, para aktivis Budi utomo banyak yang menghargai dan memberi apresiasi terhadap langkah-langkah dakwahnya.
Bersambung Bagian Dua...
Sumber : Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Herri Mohammad, dkk
Posting Komentar untuk "Kisah K. H Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, Sang Pembaharu Dari Kauman (Bagian 1)"