Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia

Perkembangan Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia

A. 
Reformasi Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah

Gambar : Pixabay.com

Gejala reformasi di Indoensia telah membawa dampak yang luas di berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, sosial budaya, politik maupun hukum. Salah satu bentuk perubahan yang cukup mendasar adalah mulai ditanggapinya berbagai tuntutan masyarakat oleh pemerintah termasuk tuntutan daerah yang selama ini terkooptasi oleh pemerintah pusat. Bentuk tanggapan (respons), dari pemerintah tersebut seperti tercermin dalam bentuk reformasi hubungan dan perimbangankeuangan pemerintah pusat dan daerah yang merupakan esensi dari otonomi daerah.

Reformasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah telah memberi angin baru dan segar bagi masyarakat daerah untuk mengolah dan membangun daerahnya sendiri. Daerah akan diberikan peran yang semakin menonjol, tidak saja dalam hal penyelenggaraan pemerintahan akan tetapi juga dalam hal membiayai sumber-sumber kekayaan alamnya.

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam hal ini sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom seyogyanya daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaran kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Peningkatan peran daerah sama sekali tidak berarti daerah-daerah yang miskin sumber dayanya akan terbengkalai.

Pembangunan yang dilaksanakan di daerah bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat seiiring dengan tujuan pembangunan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Kenyataan menunjukkan bahwa profil hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia pada umumnya hingga kini menunjukkan dominiasi pemerintah pusat yang teramat besar atas pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat pada pembagian baik sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan pengalokasiannya diantara pemerintah pusat dan daerah.

Bahwa mobilisasi dan sentralisasi manajemen sumber-sumber keuangan yang berjalan selama ini cenderung mempertinggi derajat pengawasan pusat terhadap pelaksanaan pembangunan. Salah satu alasan mengapa hal itu dilakukan adalah membuat keseimbangan dari pemanfaatan sumber daya alam (seperti minyak, gas bumi dan timah) diantara propinsi-propinsi yang ada. Oleh karena itu, pemerintah pusat merasa perlu untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam tersebut dan mengalokasikan dana itu kepada daerah-daerah. Sedangkan di sisi lain, meningkatkan daerah hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk meningkatkan pendapatan mereka.

Oleh karena itu, pada saat penghasilan-penghasilan yang pasti belum diperoleh, pemerintah daerah tetap menggantungkan pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat, dan tetap tidak akan mampu menggerakkan sumber penghasilan setempat guna membiayai program-programnya sendiri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dikemukakan

kenyataan bahwa 80% dari keseluruhan belanja negara direncanakan dan dibelanjakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan hanya sekitar 20% yang dikelola oleh propinsi-propinsi serta badan-badan pemerintah bawahnya.

B. Sejarah Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah

Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1956 kita tidak memiliki undang-undang yang mengatur mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah. Dalam periode tersebut kita telah memiliki 2 undang-undang yang mengatur mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1948. Di dalam UU ini sebenarnya telah diatur tentang garis-garis besar sumber keuangan daerah otonom, tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sistem hubungan keuangan pusat dan daerah.

UU Nomor 1 Tahun 1945 hanya mengakui daerah-daerah otonom yang telah ada pada saat proklamasi kemerdekaan, dengan konsekuensi baik sistem pemerintahan daerah maupun sistem keuangannya tetap mengikuti sistem yang telah ada sebelumnya, yaitu sistem, "sluit post" yang memberikan sumbangan keuangan kepada daerah-daerah agar APBDnya seimbang. Keadaan demikian terus berlaku sampai dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1948. Bahkan secara eksplisit sistem "sluit post" dinyatakan berlaku menurut UU No. 22 Tahun 1948. Menurut sistem "sluit post" kepada daerah diberikan tunjangan sebesar selisih antara besarnya rencana pengeluaran dan rencana penerimaan yang diajukan oleh daerah kepada pusat. Dalam prakteknya, sistem ini tidak berjalan seratus persen, karena pada kenyatannya sampai dengan tahun 1956 pemerintah memberikan tunjangan tergantung kepada kebijakannya sendiri yang dikendalikan oleh Kementerian Dalam Negeri,sehingga sistem tersebut oleh sebagian pihak lebih tepat untuk disebut "limit post". Keadaan ini menyulitkan daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan APBDnya karena daerah tidak mengetahui dan tidak dapat memastikan lebih dahulu berapa besarnya subsidi yang akan diberikan.

Hal ini terus berlangsung sampai dengan Konferensi Walikota di Jakarta pada tahun 1954 yang mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan subsidi sebelum tahun dinas dimulai. Kementrian Dalam Negeri menerima keputusan tersebut. Langkah. langkah perbaikan untuk memperbaiki sistem pemerintahan daerah dan sistem keuangannya mulai dipikirkan terutama setelah berlakunya UUDS 1950. Tahun 1952 dibentuk Panitia Natsir yang diketuai oleh Mr. Muh. Natsir yang tugasnya mempelajari dan merancang peraturan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Panitia ini dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Dec.8/8/5 tanggal 24 Apri 1952.

Panitia ini pada tahun 1953 telah berhasil menyusun 3 buah rancangan undang-undang, yaitu Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, rancangan Undang-undang tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Rancangan Undang-undang tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah. Di samping itu panitia juga berha-sil menyelesaikan 7 buah Rancangan Peraturan Pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari RUU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Rancangan UU tersebut kemudian disampaikan ke Parlemen dan baru mendekati akhir 1956 dibicarakan dan dengan perubahan-perubahan kecil akhirnya ditetapkan sebagai UU Nomor 32 Tahun 1956(Lem-baran Negara Nomor 77 Tahun 1956,Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442). UU ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957.

Hampir bersamaan dengan itu pada tanggal 18 Januari 1957 diundangkan pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang didalamnya diatur pula secara garis besar bab tentang Keuangan Daerah.

Usaha-usaha untuk mengganti UU Nomor 32 Tahun 1956 telah beberapa kali dilakukan. Setidaknya ada 3 buah naskah Rancangan Undang-undang yang berhasil disusun, yaitu RUU Perimbangan Keuangan Tahun 1963, RUU Perimbangan Keuangan Tahun 1965, dan RUU Hubungan Keuangan Tahun 1968.

Pada waktu Pelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I mulai berjalan (1969/1970-1973/1974) pemerintah menerapkan bantuan per kapita (per capita grants) kepada pemerintah Kabupaten yang disebut Inpres Kabupaten. Maksud bantuan ini adalah untuk membiayai berbagai proyek rehabilitasi infrastruktur. Bagi Pemerintah Desa ada program subsidi desa yang diperuntukkan bagi proyek-proyek padat karya.Perubahan penting dalam pola hubungan keuangan pusat dan daerah terjadi pada awal Pelita II (April 1974). Perubahan ini ditandai dengan dihapuskannya ADO (Alokasi Devisa Otomatis) bagi pemerintah provinsi. Sebagai gantinya diadakannya program subsidi untuk maksud-maksud khusus, yaitu untuk pembangunan fasilitas kesehatan dan gedung Sekolah dasar.

Mulai Pelita III dana Inpres ini mencakup bantuan pembangunan bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan desa serta bantuan untuk pembangunan gedung sekolah, pusat kesehatan masyarakat, reboisasi, pembangunan jalan dan pasar.

Sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, upaya-upaya pembenahan hubungan keuangan pusat dan daerah terus dilakukan. Tetapi karena rezim yang berkuasa sebelum terjadinya reformasi tahun 1997 usaha-usaha pembenahan tersebut tidak pernah tuntas dan selalu mengalami hambatan. Sampai pada era Presiden Habibie, dan adanya dorongan reformasi yang kuat serta timbulnya kesadaran daerah untuk membangun daerah,hasrat untuk memperbaharui pola hubungan tersebut tidak dapat dibendung lagi sehingga lahirlah UU Nomor 25 Tahun 1999 menggantikanUU Nomor 32 Tahun 1956.

Sumber : Pembiayaan Pembangunan Daerah, Rahardjo Adisasmita





Posting Komentar untuk "Perkembangan Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia"