Hukum Wanita Melahirkan Dengan Dokter Laki-Laki
Gambar : Pixabay.com
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai saat-saat dimana wanita akan melahirkan, dalam beberapa kasus banyak penanganan proses melahirkan dilakukan oleh dokter laki-laki. Bagaimanakah pandangan Islam dalam terhadap permasalahan tersebut. Maka untuk membahasnya bisa dijawab dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama: Hukum asalnya tidak boleh berobat kecuali kepada dokter yang sejenis. Terutama sekali kalau itu berkaitan dengan pemeriksaan kandungan yang secara umum, bahkan inilah yang dipastikan akan membuka aurat. Bahkan dalam banyak kondisi akan membuka aurat yang vital dan berat, yang sangat jelas keharamannya kecuali dilakukan oleh dokter yang sejenis. Syaikh Ibnu Baz berkata,
"Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus, kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing hendaknya terpisah, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang."
Kedua: Jika terpaksa, maka tidak mengapa berobat kepada dokter lawan jenis. Dengan beberapa syarat dan ketentuan berikut ini:
1. Kondisi terpaksa (darurat)
Maksudnya kondisi tersebut memaksa dia untuk menerjang sesuatu yang hukum asalnya haram. Yang batasannya disebutkan oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nazha`ir:
“Dharurat adalah sampainya seseorang pada sebuah batas, di mana jika dia tidak melakukan yang terlarang (haram) itu maka dia akan binasa atau mendekati binasa. Kondisi inilah yang membolehkan melanggar larangan."
Jika tidak sampai pada batas tersebut, tidak disebut darurat.
2. Tidak ditemukan dokter atau bidan wanita.
Hal ini meskipun kapasitas ilmu dokter wanita tersebut di bawah dokter laki-laki, namun dokter wanita tersebut masih bisa untuk mengatasi permasalahan yang ada. Sampai pun seandainya yang ditemukan itu hanya dokter wanita kafir. Jika ada dokter wanita yang amanah meskipun kafir, maka tidak boleh berobat kepada dokter laki-laki walaupun ia muslim.
3. Disertai mahram atau suaminya.
Hal ini untuk menghindari khalwat (berdua-duaan) antara seorang wanita dan laki-laki yang bukan mahram.
4. Tidak melakukan tindakan medis yang melanggar syar'i kecuali terpaksa. Seperti membuka aurat, melihat aurat dan menyentuh kulit lawan jenis kecuali sangat terpaksa dan hanya sekadarnya saja. Misal untuk pemeriksaan USG, maka yang boleh terbuka hanyalah perut saja, bukan bagian tubuh lainnya.
Saat menerangkan masalah seperti ini, Syaikh Ibnu Baz memandang permasalahan tersebut sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini dan tidak menyepelekan.
Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila men-dapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.
Bila memang dalam keadaan darurat dan memaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, maka ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli. Hal ini berdasarkan firman dalam surat al-An'ām ayat 119. Juga berdasarkan hadits ar-Rubayyi' bintu Mu'awwidz, ia berkata,
“Kami (para wanita) pernah ikut dalam satu peperangan bersama Nabi. Tugas kami adalah memberi minum kepada mujahidin, mengobati orang-orang yang luka, dan mengembalikan orang-orang yang terbunuh ke Madinah." (Shahih, HR. al-Bukhari: 2882, 2883)
Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya wanita asing mengobati lelaki ajnabi (yang bukan mahram) karena darurat. (Fathul Bari 6/98)
Hadits yang senada pun diriwayatkan pula oleh Imam Muslim: 1812, dari Ummu 'Athiyyah al-Anshariyyah. Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk di-taati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa hạrus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktik atau ruang periksa."
Bahkan Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan kewajiban berobat pada dokter wanita ini dan keharaman berobat pada dokter laki-laki dalam kasus seperti ini, sampaipun seandainya hanya ada dokter wanita tapi kafir. Beliau mengatakan, “Menyingkap aurat lelaki tėrhadap wanita, atau aurat wanita terhadap pria ketika dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah dan tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke dokter muslim tapi lelaki, lantaran aspek persamaan."
Penjelasan tambahan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas juga dipilih oleh para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Da`imah. 'Dalam fatwanya yang bernomor 16748, Lajnah memfatwakan, “Wanitalah yang menangani (pasien) wanita, baik ia seorang muslimah maupun bukan. Seorang lelaki yang bukan mahram tidak boleh menangani wanita, kecuali dalam kondisi darurat. Yaitu bila memang tidak ditemukan dokter wanita."
Demikian Pembahasan terhadap permasalahan ini. Wallahu ‘alam.
Ustadz Ahmad Sabiq, Lc
Posting Komentar untuk "Hukum Wanita Melahirkan Dengan Dokter Laki-Laki"