Haji Yang Mabrur, Gerbang Menuju Keshalihan Sosial
Pada suatu hari datang perempuan secara tergopoh-gopoh menemui Rasulullah saw. Saat itu beliau sedang berada di atas hewan kendaraannya bersama Fadhl bin Abbas. Ketika wanita itu datang, Fadhal langsung melihat ke arahnya, dan wanita itu pun melihatnya. Rasulullah saw segera memalingkan wajah Fadhal ke arah lain. Satu pertanyaan meluncur dari mulut wanita itu, “Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menetapkan kewajiban haji terhadap ayahku yang tua renta dan tak lagi sanggup berpergian. Apakah aku dapat mengha jikannya?”
“Ya," jawab Rasulullah saw sebagai mana direkam oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (I/324). Wanita itu pun pulang dengan perasaan lega dan gembira. Beban yang begitu berat di benaknya baru saja sirna.
Kisah yang juga diabadikan Imam Muslim dalam Shahih-nya (1/614) itu menjadi dasar bagi para ulama tentang bolehnya seorang anak menghajikan orang tuanya yang tidak mampu lagi menunaikan ibadah haji. Tapi bukan itu saja. Kisah itu juga menegaskan motivasi yang sangat besar dari seorang tua renta untuk menunaikan haji, tapi terhalang oleh ketidaksanggupannya untuk bepergian. Rasulullah saw akhirnya memberikan jalan keluar dengan membolehkan anaknya menghajikan orang tuanya.
Motivasi yang amat dalam itu bisa dirasakan juga dari berbagai hadits yang mendorong umat Islam agar bersegera menunaikan kewajiban ini. Aisyah salah seorang istri Rasulullah saw pernah bertanya pada beliau, “Kami melihat jihad sebagai amal yang paling baik. Tidakkah kami (wanita) ikut juga berjihad?”
Dengan penuh kasih Rasulullah saw menjawab, “Bagi kalian ada jihad yang paling utama yaitu haji mabrur,” (HR Bukhari 1/326).
Gambar : Kementerian Media Saudi / AFP
Wajarlah jika motivasi nabawi ini membuat banyak umat Islam berlomba-lomba menunaikan ibadah haji. Di Indonesia, umat Islam begitu bersemangat, bahkan rela untuk berpeluh payah menabung rupiah hingga menjual tanah untuk membiayai perjalanan menuju Baitullah. Bahkan, ada yang melakukannya sampai berkali-kali.
Ketika musim haji kembali datang menyapa. Umat Islam dari segala penjuru dunia datang berkumpul ke Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ka'bah berselimut cahaya. Jutaan manusia berkeliling di sekitarnya, berdzikir, bak laron yang berkerumun di titik cahaya. Itulah perumpamaan Ka'bah dan para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia yang mengitarinya hari-hari ini. Kerumunan yang mengeluarkan suara gemuruh seperti kepakan sayap laron di musim hujan. Gemuruh dan riuh rendah dalam kekhusyukan dzikir yang dalam pada Rabbul Ka'bah, Allah SWT, penguasa seru segala alam.
Umat Islam berbondong-bondong ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan Allah. Mereka datang untuk mengejar janji Rasul-Nya yang bersabda, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga,” (HR Muttafaqun alaih).
Ya, mabrur. Ulama hadits al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan, “Haji mabrur adalah haji yang makbul. Yakni haji yang diterima oleh Allah SWT.”
Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya'-nya, tidak ada sum'ah tidak rafats dan tidak fusuq."
Selanjutnya Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim mengungkapkan, “Haji mabrur adalah ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal shalih dan kebaikan-kebaikan."
Berdasarkan rumusan yang diberikan para ulama tentang pengertian haji mabrur ini, dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur tak hanya diraih dengan menyempurnakan rukun, wajib dan syaratnya saja. Predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya' bersih dari dosa senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal-amal shalih, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak, itu yang lebih utama.
Mabrur yang secara bahasa berarti baik dan dianggap sah, tidak saja cukup terkumpul padanya rukun dan syarat. Namun juga ini yang lebih penting adalah memiliki implikasi sosial terhadap pelakunya.
Dalam ibadah hendaknya terkumpul tiga aspek: spirit (niat), ritus (praktik) dan pengaruh atau hikmah (sosial). Demikianlah keharusan untuk melibatkan tiga aspek tersebut, agar selanjutnya kita tidak terjebak dalam menangkap makna ibadah haji secara parsial.
Ibadah haji bukanlah produk budaya yang bisa dianggap shahih atas pertimbangan pandangan dan kebiasaan kebanyakan orang. Ibadah haji bukan pula sekadar capaian gelar atau wisata spiritual semata untuk melihat Ka'bah dan jejak-jejak peninggalan sejarah. la memiliki pertanggungjawaban pada llahi sekaligus mengemban amanah sosial.
Secara filosofi, rukun Islam menempatkan ibadah haji sebagai kewajiban tertinggi seorang Muslim. Dalam gizi makanan, haji ibarat minuman penyempurna setelah empat kewajiban sebelumnya. la disimpan sebagai rukun terakhir setelah pengorbanan lisan melalui kesaksian (syahadatain), pengorbanan waktu melalui kewajiban shalat dan pengorbanan harta dengan keharusan zakat. Hikmahnya, tiada lain, dalam menunaikan ibadah ini senantiasa menuntut aneka pengorbanan yang selanjutnya mesti membekas pada perilaku kemanusiaannya.
Namun demikian, setelah ibadah haji tak berarti segala-galanya langsung selesai. Kembali dari Tanah Suci, tak berarti berhenti menunaikan kebaikan. la justru menjadi gerbang awal menuju ibadah dan pembinaan keshalihan sosial lainnya. Ibadah haji disebut klimaks, karena ia menjadi penutup kewajiban pengabdian seorang Muslim secara individual menuju pengabdian secara sosial.
Ibadah haji benar-benar ibarat susu bagi gizi makanan empat sehat lima sempurna. la menjadi penyempurna bagi ibadah lainnya.
Haji mabrur adalah haji yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu-seperti gelar di depan nama-melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang baik secara individu maupun sosial. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan siner-gisasi keduanya; kewajiban individual sekaligus ámanah sosial. Inilah haji mabrur yang maqbul, yang pahalanya diterima di sisi Allah.
Hepi Andi Bastoni
Posting Komentar untuk "Haji Yang Mabrur, Gerbang Menuju Keshalihan Sosial"