Sikap dan Status Istri Apabila Suami Menghilang Dalam Waktu Yang Lama
Setelah terjadi akad pernikahan, syari'at telah menjelaskan kewajiban dan hak seorang istri pada suami, demikian sebaliknya. Suami berkewajiban menafkahi istri, memberi makanan, minuman dan tempat tinggal. Dia juga harus memenuhi kebutuhan biologis istrinya walaupun sekali dalam empat bulan, bila tidak mampu memberikan lebih dari itu.
Nabi bersabda, ”Engkau memberi makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekannya, dan jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Hadits ini dishahihkan Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana bila suami meninggalkan istri atau menghilang dalam kurun waktu yang cukup lama, dan ada kemungkinan ia tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai suami? Kapan sang istri boleh mengajukan cerainya pada hakim? Lalu bagaimana bilasetelah istri menikah lagi, tiba-tiba suami pertama datang dan kembali meminta hak-haknya dari sang istri?
I. Status Suami Yang Hilang
Suami yang hilang atau pergi meninggalkan istrinya tidak lepas dari dua keadaan:
1. Dia menghilang tapi hubungannya dengan istri tidak terputus sama sekali, dimana laki-laki tersebut masih diketahui tempatnya dan masih pula diterima kabar beritanya
2. Suami pergi dan tidak diketahui kabarnya dan tempat tinggalnya.
Mengenai kondisi pertama, seluruh Ahlul Ilmi berpendapat, “Kondisi seperti ini, seyogyanya istri yang ditinggalkan tidak menikah lagi, kecuali jika suaminya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya. Maka diperbolehkan baginya membawa masalah tersebut kepada hakim setempat dalam rangka meminta cerai dengan suaminya. Sudah menjadi ijma', bahwa istri dari seorang yang ditawan, tidak boleh menikah sampai ia yakin akan kematian suaminya. Ini adalah pendapat an-Nakha'i, az-Zuhri, Yahya al-Ansar, Makhul, as-Syafi'i, Abu Ubaida, Abi Tsaur, Ishaq dan Ashabul ra'yi.”
Adapun kondisi kedua, ada dua kemugkinan yang terjadi : kemungkinan pertama, seorang yang hilang tersebut secara dzahir diketahui akan keselamatannya. Seperti orang yang pergi untuk mengadakan perdagangan di tempat yang aman, menuntut ilmu, atau untuk lainnya. Keadaan seperti ini, selama tidak bisa dipastikan kematiannya, maka ikatan pernikahan tidak hilang. Sebagaimana pendapat Ali, Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laili, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi'i dalam pendapat barunya, demikian juga diriwayatkan dari Abu Qilabah, an-Nakha'i dan Abu Ubaid.
Kemungkinan kedua, orang yang hilang tersebut secara dzahir telah meninggal dunia. Seperti orang yang hilang ketika malam atau siang hari di tengah-tengah keluarganya, atau hilang ketika pergi ke masjid, atau pergi ke tempat yang dekat untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian tidak kembali. atau hilang di tengah-tengah pertempuran, atau hilang ketika menaiki kapal, lalu tenggelam sebagian penumpangnya, atau orang yang hilang di tempat yang tidak aman, seperti di dataran Hijaz atau yang semisalnya.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Qudamah (al-Mughni:11/247-249), seorang istri hendaknya menunggu terlebih dahulu selama empat tahun, kemudian ber-iddah seperti istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan lebih sepuluh hari. setelah itu halal baginya untuk menikah lagi. Hal ini berdasarkan madzhab Imam Ahmad, dan imam Malik, juga merupakan pendapat Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Atha', Amru bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri ,Qatadah, dan as-Syafi'i.
Umar ra ditanya mengenai seorang istri yang suaminya menghilang, beliau berkata, “Setiap perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak tahu dimana suaminya berada, maka ia menunggu selama empat tahun, setelah itu ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Maka halal baginya untuk menikah lagi." (Diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwatha').
II. Apa yang Harus Dilakukan Apabila Suami Pulang dan Istri Sudah Milik Orang
Bila istri yang ditinggal suami menikah dengan laki-laki lain, lalu tiba-tiba suami pertama datang kembali. Maka istri tersebut tetap menjadi hak suami yang pertama, baik sudah digauli atau belum. Lalu bagi suami pertama bisa memilih: apakah menthalaqnya atau tetap menjadikannya istri. Sebagaimana perkataan Ali ra yang diriwayatkan imam asy-Syafi'i dan al-Baghawi, “Wanita tersebut tetap menjadi istrinya. Akan tetapi jika ia menghendaki, ia boleh menthalaq atau menahannya.”
Bila ia memilih menceraikannya, karena istrinya sudah digauli oleh suami kedua, maka ia berhak mengambil mahar yang sudah ia berikan padanya. Bila belum digauli, maka tidak berhak atas mahar yang sudah diberikan. Hal ini sebagaimana pendapat al-Hasan, Atha, Qatadah, Ishaq dan an-Nawawi.
Bila ia memilih kembali pada istrinya, Menurut imam asy-Syafi'i (al-Majmu:19/237), “Bila belum digauli oleh suami yang kedua, maka keduanya bercerai, dan setelah itu ia menjadi halal bagi suami yang pertama. Tapi bila sudah digauli, maka ia disuruh bercerai dengan suami yang kedua, dan melaksanakan iddah (iddah talak), juga dilarang bagi suami pertama menggaulinya di masa itu, sampai waktunya selesai. Bila sudah berlalu masa iddahnya,maka menjadi halal bagi suami pertama.”
Wallahu A'lam Bissawab.
Sumber : Ar-risalah
ilustrasi.foto: ismee_tasnem
Nabi bersabda, ”Engkau memberi makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekannya, dan jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Hadits ini dishahihkan Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana bila suami meninggalkan istri atau menghilang dalam kurun waktu yang cukup lama, dan ada kemungkinan ia tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai suami? Kapan sang istri boleh mengajukan cerainya pada hakim? Lalu bagaimana bilasetelah istri menikah lagi, tiba-tiba suami pertama datang dan kembali meminta hak-haknya dari sang istri?
I. Status Suami Yang Hilang
Suami yang hilang atau pergi meninggalkan istrinya tidak lepas dari dua keadaan:
1. Dia menghilang tapi hubungannya dengan istri tidak terputus sama sekali, dimana laki-laki tersebut masih diketahui tempatnya dan masih pula diterima kabar beritanya
2. Suami pergi dan tidak diketahui kabarnya dan tempat tinggalnya.
Mengenai kondisi pertama, seluruh Ahlul Ilmi berpendapat, “Kondisi seperti ini, seyogyanya istri yang ditinggalkan tidak menikah lagi, kecuali jika suaminya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya. Maka diperbolehkan baginya membawa masalah tersebut kepada hakim setempat dalam rangka meminta cerai dengan suaminya. Sudah menjadi ijma', bahwa istri dari seorang yang ditawan, tidak boleh menikah sampai ia yakin akan kematian suaminya. Ini adalah pendapat an-Nakha'i, az-Zuhri, Yahya al-Ansar, Makhul, as-Syafi'i, Abu Ubaida, Abi Tsaur, Ishaq dan Ashabul ra'yi.”
Adapun kondisi kedua, ada dua kemugkinan yang terjadi : kemungkinan pertama, seorang yang hilang tersebut secara dzahir diketahui akan keselamatannya. Seperti orang yang pergi untuk mengadakan perdagangan di tempat yang aman, menuntut ilmu, atau untuk lainnya. Keadaan seperti ini, selama tidak bisa dipastikan kematiannya, maka ikatan pernikahan tidak hilang. Sebagaimana pendapat Ali, Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laili, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi'i dalam pendapat barunya, demikian juga diriwayatkan dari Abu Qilabah, an-Nakha'i dan Abu Ubaid.
Kemungkinan kedua, orang yang hilang tersebut secara dzahir telah meninggal dunia. Seperti orang yang hilang ketika malam atau siang hari di tengah-tengah keluarganya, atau hilang ketika pergi ke masjid, atau pergi ke tempat yang dekat untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian tidak kembali. atau hilang di tengah-tengah pertempuran, atau hilang ketika menaiki kapal, lalu tenggelam sebagian penumpangnya, atau orang yang hilang di tempat yang tidak aman, seperti di dataran Hijaz atau yang semisalnya.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Qudamah (al-Mughni:11/247-249), seorang istri hendaknya menunggu terlebih dahulu selama empat tahun, kemudian ber-iddah seperti istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan lebih sepuluh hari. setelah itu halal baginya untuk menikah lagi. Hal ini berdasarkan madzhab Imam Ahmad, dan imam Malik, juga merupakan pendapat Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Atha', Amru bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri ,Qatadah, dan as-Syafi'i.
Umar ra ditanya mengenai seorang istri yang suaminya menghilang, beliau berkata, “Setiap perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak tahu dimana suaminya berada, maka ia menunggu selama empat tahun, setelah itu ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Maka halal baginya untuk menikah lagi." (Diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwatha').
II. Apa yang Harus Dilakukan Apabila Suami Pulang dan Istri Sudah Milik Orang
Bila istri yang ditinggal suami menikah dengan laki-laki lain, lalu tiba-tiba suami pertama datang kembali. Maka istri tersebut tetap menjadi hak suami yang pertama, baik sudah digauli atau belum. Lalu bagi suami pertama bisa memilih: apakah menthalaqnya atau tetap menjadikannya istri. Sebagaimana perkataan Ali ra yang diriwayatkan imam asy-Syafi'i dan al-Baghawi, “Wanita tersebut tetap menjadi istrinya. Akan tetapi jika ia menghendaki, ia boleh menthalaq atau menahannya.”
Bila ia memilih menceraikannya, karena istrinya sudah digauli oleh suami kedua, maka ia berhak mengambil mahar yang sudah ia berikan padanya. Bila belum digauli, maka tidak berhak atas mahar yang sudah diberikan. Hal ini sebagaimana pendapat al-Hasan, Atha, Qatadah, Ishaq dan an-Nawawi.
Bila ia memilih kembali pada istrinya, Menurut imam asy-Syafi'i (al-Majmu:19/237), “Bila belum digauli oleh suami yang kedua, maka keduanya bercerai, dan setelah itu ia menjadi halal bagi suami yang pertama. Tapi bila sudah digauli, maka ia disuruh bercerai dengan suami yang kedua, dan melaksanakan iddah (iddah talak), juga dilarang bagi suami pertama menggaulinya di masa itu, sampai waktunya selesai. Bila sudah berlalu masa iddahnya,maka menjadi halal bagi suami pertama.”
Wallahu A'lam Bissawab.
Sumber : Ar-risalah
Posting Komentar untuk "Sikap dan Status Istri Apabila Suami Menghilang Dalam Waktu Yang Lama"