Pendidikan Parenting, Semangati Anakmu, Jangan Bebani
Tahukah Anda bedanya mengejar anjing dan dikejar anjing? Sama-sama menguras tenaga, tapi beda akibatnya bagi jiwa dan badan kita. Pada saat mengejar anjing, maka begitu anjingnya terlihat, energi baru langsung datang. Energi yang telah hilangpun, tiba-tiba muncul kembali. la menghadirkan semangat selagi tujuan kita masih kuat atau kita merasa memiliki cukup kemampuan untuk mengejarnya.
Tetapi kondisi psikis yang sama tidak kita miliki Kalau yang terjadi sebaliknya. Apabila kita yang dikejar anjing, maka baru berlari lima meter saja, rasanya tubuh lemah, lunglai tak berdaya dan perlu waktu lama agar energi itu kembali lagi. Begitu pula kesiapan emosi kita untuk bertindak, perlu pemanasan untuk bisa kembali cepat tanggap, kecuali jika anjing itu menyalak lagi mengejar kita, maka energi itu muncul untuk sesaat, hanya untuk menyelamatkan diri.
Anak-anak kita juga demikian, kalau semangat yang kita tanamkan kepadanya, maka ia akan senantiasa memiliki energi dan kesegaran untuk mengejar anjing yang bernama cita-cita. Akan tetapi apabila kita yang mengharap agar mereka memiliki sesuatu, maka kitalah yang harus menjadi “anjing penjaga” itu. Anak-anak belajar bukan karena keinginannya untuk memperoleh ilmu, melainkan karena takut kepada orang tuanya, sehingga aktivitasnya harus dipantau terus menerus. Kalau kita tidur, tidur pula semangat anak untuk belajar, kalau kita pergi, pergi pula kemauannya untuk berbuat baik. Anak hanya menjadi semacam robot yang suatu saat akan berontak untuk tidak lagi menuruti kemauan orang tuanya, atau bahkan bisa terjadi sebaliknya, ia akan hidup tanpa rasa dan tidak mempunyai gairah sama sekali. Tidak ada lagi aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya. Ini mungkin gambaran yang terlalu ekstrem, tetapi tidak bisa dikatakan tidak ada, meski kita berharap itu tidak terjadi pada keluarga kita. Kita berdoa, semoga atas setiap letih lelah kita mengasuh mereka di waktu kecil, kelak Allah 'Azza wa Jalla akan berikan kepada kita kemurahan dan kasih-sayang di surga-Nya.
Tak ada cita-cita yang lebih mengharukan bagi orangtua terhadap anaknya, kecuali berharap agar mereka kelak menjadi anak-anak shalih yang mendoakan (waladun shalihun yad'ulah). Untuk itu kita harus memberi perhatian yang bisa membawanya kepada keshalihan.
Pengayaan Mental
Saya teringat dengan Dr Marian C Diamond, peneliti otak milik Albert Einstein. Setelah mempelajari otak milk mendiang Einstein, Diamond mencoba memahami lebih jauh dengan melakukan berbagai percobaan terhadap tikus. Mulanya ia memberi pengayaan lingkungan, kemudian ia mencoba melakukan eksperimen yang berbeda.
Tetapi kondisi psikis yang sama tidak kita miliki Kalau yang terjadi sebaliknya. Apabila kita yang dikejar anjing, maka baru berlari lima meter saja, rasanya tubuh lemah, lunglai tak berdaya dan perlu waktu lama agar energi itu kembali lagi. Begitu pula kesiapan emosi kita untuk bertindak, perlu pemanasan untuk bisa kembali cepat tanggap, kecuali jika anjing itu menyalak lagi mengejar kita, maka energi itu muncul untuk sesaat, hanya untuk menyelamatkan diri.
Gambar : Pixabay.com
Anak-anak kita juga demikian, kalau semangat yang kita tanamkan kepadanya, maka ia akan senantiasa memiliki energi dan kesegaran untuk mengejar anjing yang bernama cita-cita. Akan tetapi apabila kita yang mengharap agar mereka memiliki sesuatu, maka kitalah yang harus menjadi “anjing penjaga” itu. Anak-anak belajar bukan karena keinginannya untuk memperoleh ilmu, melainkan karena takut kepada orang tuanya, sehingga aktivitasnya harus dipantau terus menerus. Kalau kita tidur, tidur pula semangat anak untuk belajar, kalau kita pergi, pergi pula kemauannya untuk berbuat baik. Anak hanya menjadi semacam robot yang suatu saat akan berontak untuk tidak lagi menuruti kemauan orang tuanya, atau bahkan bisa terjadi sebaliknya, ia akan hidup tanpa rasa dan tidak mempunyai gairah sama sekali. Tidak ada lagi aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya. Ini mungkin gambaran yang terlalu ekstrem, tetapi tidak bisa dikatakan tidak ada, meski kita berharap itu tidak terjadi pada keluarga kita. Kita berdoa, semoga atas setiap letih lelah kita mengasuh mereka di waktu kecil, kelak Allah 'Azza wa Jalla akan berikan kepada kita kemurahan dan kasih-sayang di surga-Nya.
Tak ada cita-cita yang lebih mengharukan bagi orangtua terhadap anaknya, kecuali berharap agar mereka kelak menjadi anak-anak shalih yang mendoakan (waladun shalihun yad'ulah). Untuk itu kita harus memberi perhatian yang bisa membawanya kepada keshalihan.
Pengayaan Mental
Saya teringat dengan Dr Marian C Diamond, peneliti otak milik Albert Einstein. Setelah mempelajari otak milk mendiang Einstein, Diamond mencoba memahami lebih jauh dengan melakukan berbagai percobaan terhadap tikus. Mulanya ia memberi pengayaan lingkungan, kemudian ia mencoba melakukan eksperimen yang berbeda.
Diamond meneliti dua kelompok tikus, satu kelompok mendapat pengayaan emosional, berupa perhatian dan kasih sayang, kemudian ditemukan bahwa ketika diberikan sentuhan kasih maka tikus-tikus tersebut akan menunjukkan tanda-tanda fisik akan perbaikan fungsi sistem limbik mereka. Dengan mengacu pada percobaan itu, maka pengayaan secara mental dapat memberikan kepada kita kapasitas fisik yang lebih luas bagi kecerdasan intelek dan emosi.
Ada sejumlah penelitian lain hasil percobaan Diamond. Kali ini penelitiannya bukan pada tikus, melainkan terhadap manusia. Ringkasnya, pengayaan secara mental akan meningkatkan kapasitas fisik kecerdasan anak-anak kita. Peningkatan kapasitas mental memungkinkan mereka memiliki kecerdasan cair yang lebih tinggi. Apa itu kecerdasan cair? Rumusannya begini, “Kecerdasan cair adalah ukuran efisiensi kerja otak, bukan ukuran jumlah fakta yang tersimpan di dalamnya." Seorang anak bisa saja mempunyai pengetahuan yang banyak, akan tetapi belum tentu dia memanfaatkan pengetahuannya tersebut. Ia mungkin bisa mempelajari pelajaran sulit di masa belianya, tapi belum tentu pengetahuan dari pelajaran tersebut bisa diambil manfaatnya.
Nah, keadaan seperti ini mudah terjadi apabila anak-anak kita belajar seperti robot. Mereka belajar karena beban itu harus mereka singkirkan. Tanpa tujuan, tanpa Keterlibatan emosi, tanpa bisa menikmati. Suatu yang paling membahagiakan bagi mereka adalah ketika terbebas dari beban dan tuntutan. Ini berbeda dengan anak-anak yang belajar karena ada semangat yang menyala dalam dirinya. Gairah belajar selalu ada pada dirinya, kecuali apabila orangtua atau guru telah menjenguknya dengan rutinitis yang terus-menerus tanpa memberi kesempatan rehat bagi jiwanya.
Diantara bentuk rehat jiwa adalalah berhibur. 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallatu 'anhu berkata: "Hiburlah hati suatu ketika, karena jika dipaksakan terus-menerus terhadap sesuatu, ia menjadi buta....”
Oleh karena itu, kita mengharapkan kepada sekolah-sekolah yang menerapkan pola belajar Full day, agar tidak memberikan pekerjaan rumah yang banyak kepada anak, karena itu tidak akan membuat anak menjadi lebih cerdas, melainkan hanya membebaninya. Akan tetapi ada alternatif yang bisa kita lakukan. Kita bisa memberikan mereka tugas berupa bahan pengayaan apabila mereka ingin meningkatkan kemampuannya di rumah, tetapi bukan pekerjaan rumah, agar mereka menjadi anak-anak yang penuh inisiatif, kecakapan emosinya berkembang, kecakapan sosialnya tidak terhalang. Kita perlu memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat menikmati hari libur tanpa beban akademik.
Kalau harus ada yang kita berikan pada anak-anak kita, maka itu lebih bersifat pengayaan mental dan lingkungan. Kita bisa memberi mereka pengayaan pengalaman dengan memberi pekerjaan rumah yang menantang. Misalnya beternak atau menggembala kambing-kegiatan yang sangat efektif untuk merangsang empati dan kepemimpinan. Semangat merekalah yang periu kita bangkitkan, bukan membebani mereka dengan tugas yang tidak perlu, sehingga mereka merasa beban seperti sedang “dikejar anjing”
Dalam keadaan tertekan, sejumput makanan di piring akan jauh lebih berat dibanding sekarung batu yang ditopang. Begitu pula jiwa anak-anak kita. Tugas yang sederhana akan terasa sangat berat dan melelahkan jiwa, bukan hanya fisik, apabila kita memberikannya sebagai tuntutan dan bahkan ancaman. Akan tetapi tugas yang sulit apabila disertai dengan perhatian dan dukungan maka tugas tersebut akan terasa ringan.
Bukan Lancar Berhitung
Sungguh, yang harus kita siapkan bukanlah anak anak yang lancar berhitung. Kita perlu berusaha melahirkan anak-anak yang akan sanggup menegakkan kepala menghadapi tantangan, mengepalkan tangannya mengatasi kesulitan, kuat jiwanya menghadapi tekanan, cemerlang, pikirannya merumuskan visi perjuangan, optimis sikapnya menghadapi apa yang tampaknya mustahil diwujudkan, cerdas nalarnya mengurai ilmu-ilmu yang terhampar di hadapannya, dan membasahi matanya di waktu malam dengan munajat kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Di siang hari ia seperti singa yang merancang masa depan dan perjuangan dengan gagah. Di malam hari, kepalanya lebih dekat dengan tanah daripada kakinya.
Anak-anak seperti itu, akankah akan kita lahirkan?, kalau kita sendiri tak sanggup menaklukkan ambisi untuk memperoleh tepuk tangan atas celoteh mereka? Tahanlah diri sejenak, biarlah kita usap kepala mereka setiap hari tanpa perlu ada tepuk tangan dan piala, asalkan pada dada mereka sudah kita tanamkan cita-cita tinggi. Cita-cita yang Sangat tinggi,
Semangati mereka, tapi jangan bebani. Bangkitkan pada diri mereka tanggung jawab, rasa cinta kepada saudaranya, bangunlah empati, kepedulian dan kepekaan. Bukalah mata mereka bahwa ada saudaranya yang harus mereka tolong.
Ada sejumlah penelitian lain hasil percobaan Diamond. Kali ini penelitiannya bukan pada tikus, melainkan terhadap manusia. Ringkasnya, pengayaan secara mental akan meningkatkan kapasitas fisik kecerdasan anak-anak kita. Peningkatan kapasitas mental memungkinkan mereka memiliki kecerdasan cair yang lebih tinggi. Apa itu kecerdasan cair? Rumusannya begini, “Kecerdasan cair adalah ukuran efisiensi kerja otak, bukan ukuran jumlah fakta yang tersimpan di dalamnya." Seorang anak bisa saja mempunyai pengetahuan yang banyak, akan tetapi belum tentu dia memanfaatkan pengetahuannya tersebut. Ia mungkin bisa mempelajari pelajaran sulit di masa belianya, tapi belum tentu pengetahuan dari pelajaran tersebut bisa diambil manfaatnya.
Nah, keadaan seperti ini mudah terjadi apabila anak-anak kita belajar seperti robot. Mereka belajar karena beban itu harus mereka singkirkan. Tanpa tujuan, tanpa Keterlibatan emosi, tanpa bisa menikmati. Suatu yang paling membahagiakan bagi mereka adalah ketika terbebas dari beban dan tuntutan. Ini berbeda dengan anak-anak yang belajar karena ada semangat yang menyala dalam dirinya. Gairah belajar selalu ada pada dirinya, kecuali apabila orangtua atau guru telah menjenguknya dengan rutinitis yang terus-menerus tanpa memberi kesempatan rehat bagi jiwanya.
Diantara bentuk rehat jiwa adalalah berhibur. 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallatu 'anhu berkata: "Hiburlah hati suatu ketika, karena jika dipaksakan terus-menerus terhadap sesuatu, ia menjadi buta....”
Oleh karena itu, kita mengharapkan kepada sekolah-sekolah yang menerapkan pola belajar Full day, agar tidak memberikan pekerjaan rumah yang banyak kepada anak, karena itu tidak akan membuat anak menjadi lebih cerdas, melainkan hanya membebaninya. Akan tetapi ada alternatif yang bisa kita lakukan. Kita bisa memberikan mereka tugas berupa bahan pengayaan apabila mereka ingin meningkatkan kemampuannya di rumah, tetapi bukan pekerjaan rumah, agar mereka menjadi anak-anak yang penuh inisiatif, kecakapan emosinya berkembang, kecakapan sosialnya tidak terhalang. Kita perlu memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat menikmati hari libur tanpa beban akademik.
Kalau harus ada yang kita berikan pada anak-anak kita, maka itu lebih bersifat pengayaan mental dan lingkungan. Kita bisa memberi mereka pengayaan pengalaman dengan memberi pekerjaan rumah yang menantang. Misalnya beternak atau menggembala kambing-kegiatan yang sangat efektif untuk merangsang empati dan kepemimpinan. Semangat merekalah yang periu kita bangkitkan, bukan membebani mereka dengan tugas yang tidak perlu, sehingga mereka merasa beban seperti sedang “dikejar anjing”
Dalam keadaan tertekan, sejumput makanan di piring akan jauh lebih berat dibanding sekarung batu yang ditopang. Begitu pula jiwa anak-anak kita. Tugas yang sederhana akan terasa sangat berat dan melelahkan jiwa, bukan hanya fisik, apabila kita memberikannya sebagai tuntutan dan bahkan ancaman. Akan tetapi tugas yang sulit apabila disertai dengan perhatian dan dukungan maka tugas tersebut akan terasa ringan.
Bukan Lancar Berhitung
Sungguh, yang harus kita siapkan bukanlah anak anak yang lancar berhitung. Kita perlu berusaha melahirkan anak-anak yang akan sanggup menegakkan kepala menghadapi tantangan, mengepalkan tangannya mengatasi kesulitan, kuat jiwanya menghadapi tekanan, cemerlang, pikirannya merumuskan visi perjuangan, optimis sikapnya menghadapi apa yang tampaknya mustahil diwujudkan, cerdas nalarnya mengurai ilmu-ilmu yang terhampar di hadapannya, dan membasahi matanya di waktu malam dengan munajat kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Di siang hari ia seperti singa yang merancang masa depan dan perjuangan dengan gagah. Di malam hari, kepalanya lebih dekat dengan tanah daripada kakinya.
Anak-anak seperti itu, akankah akan kita lahirkan?, kalau kita sendiri tak sanggup menaklukkan ambisi untuk memperoleh tepuk tangan atas celoteh mereka? Tahanlah diri sejenak, biarlah kita usap kepala mereka setiap hari tanpa perlu ada tepuk tangan dan piala, asalkan pada dada mereka sudah kita tanamkan cita-cita tinggi. Cita-cita yang Sangat tinggi,
Semangati mereka, tapi jangan bebani. Bangkitkan pada diri mereka tanggung jawab, rasa cinta kepada saudaranya, bangunlah empati, kepedulian dan kepekaan. Bukalah mata mereka bahwa ada saudaranya yang harus mereka tolong.
Sumber : Mohammad Fauzil Adhim
Posting Komentar untuk "Pendidikan Parenting, Semangati Anakmu, Jangan Bebani"