Kekayaan atau Kefakiran, Ujian dan Bentuk Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya
Setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda, sehingga dalam menjalani kehidupan pun mempunyai jalan masing-masing. Allah SWT telah memberikan akal dan fikiran kepada manusia agar menggunakannya untuk mencapai keridhaan-Nya. Sebagian manusia menggunakan potensi tersebut untuk kebaikan dan sebagian lagi menggunakannya dalam hal yang dimurkai Allah.
Setan adalah musuh yang senantiasa berusaha menyesatkan manusia, Setan bisa mengenali kecenderungan kita itu, untuk kemudian menentukan manakah cara yang tepat untuk menyesatkan kita. Jika sikap malas dan menahan diri yang lebih dominan, setan akan menghalang-halangi, memberat-beratkan, serta mudah memberi alasan untuk meninggalkan sebuah kewajiban. Adapun jika sikap ringan dan berani maju yang dominan, maka setan akan mendorong kita untuk melampaui batas, serta menganggap sedikit apa yang telah kita kerjakan.
Inilah yang terjadi pada manusia dalam mematuhi bentuk perintah dan larangan Allah, sikap mengabaikan atau berlebih-lebihan. Oleh karena itu, sikap pertengahan selalu menjadi pilihan terbaik dan adil, meski tentu saja tidak mudah. Sebagiannya tergantung kepada kemampuan kita mengenali diri sendiri, dan kemampuan memilih strategi menghadapi godaan setan itu.
Demikian juga halnya dengan sikap kita terhadap kemapanan hidup, harta melimpah, fasilitas mewah, pakaian indah, rumah megah, atau makanan yang menggugah selera. Juga sikap kita terhadap ketidakmapanan yang bermakna kebalikan dari semua yang disebutkan di depan. Kita tidak boleh memihak salah satunya secara ekstrim. Terlalu cinta dunia hingga kehidupan dipergunakan seluruhnya untuk mengejarnya, kegagalan mendapatkannya dimaknai sebagai kegagalan hidup. Atau terlalu benci dunia, hingga seluruh perolehan dunia adalah nista di mata kita, hingga semua capaian yang didapat, meskipun halal tetap diartikan sebagai musibah perusak akhirat.
Pertama kali yang harus kita pahami, bahwasanya kekayaan atau kemiskinan, dua-duanya bersifat netral, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Dua-duanya bisa menjadi kendaraan iman dan dua-duanya juga bisa menjadi ujian, yang bisa membawa kita ke tingkat ketakwaan dan iman yang tinggi, namun juga bisa menjerumuskan dan melemparkan kita ke dalam kekafiran.
Kita tidak perlu menolak kekayaan jika Allah menghendaki demikian. Sebagaimana kita juga tidak boleh mengingkari kemiskinan jika demikianlah keadaan kita. Bersikap zuhud bukanlah berarti menolak dunia, sebab zuhud adalah meninggalkan yang tidak bermanfaat bagi akhirat kita. Hasan al-Bashri pernah berkata, "Zuhud terhadap dunia bukannya dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud adalah apa yang ada di tangan Allah, lebih kamu percayai daripada apa yang ada di tanganmu. Dan pahala musibah, jika mengenaimu, lebih kamu sukai daripada jika tidak menimpamu."
Di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa ada manusia yang jika dijadikan Allah sebagai orang kaya, maka keadaan itu akan mencelakakan dirinya. Namun ada juga manusia yang jika dijadikan Allah sebagai orang miskin, maka keadaan itu akan mencelakakan dirinya. Masing-masing memiliki keutamaan sendiri-sendiri. Artinya, mana yang lebih baik di antara keduanya; kaya atau miskin, adalah yang dengan keadaan itu kita menjadi bertakwa kepada Allah. Karena Allah tidak mengutamakan seorang hamba karena kekayaan atau kemiskinannya, melainkan Allah SWT akan mengutamakan seorang hamba diatas yang lain karena ketakwaannya.
Dari sinilah pentingnya mengenali kecenderungan diri kita masing-masing. Jika kita termasuk orang yang lebih bisa bertakwa di dalam kecukupan, maka hendaklah kita belajar banyak-banyak bersyukur. Sebab itulah yang terbaik bagi hamba-hamba yang diberi kelapangan rezeki oleh Allah. Dan Allah benar-benar ridha kepada seorang hamba yang memakan makanan dan meminum minuman, kemudian atas itu semua, dia memuji-Nya, seperti Abu Bakar ra, Utsman ra, Abdurrahman bin 'Auf ra, dan yang semisal dengan mereka yang mulia di dalam limpahan kekayaan. Mutharrif berkata, "Aku diberi kesehatan kemudian bersyukur atasnya, benar-benar lebih aku cintai daripada tertimpa musibah lalu bersabar."
Namun jika kita termasuk yang lebih bisa bertakwa dan istiqamah di atas keimanan dalam keadaan fakir, tentulah kita harus banyak bersabar. Sebab itulah yang terbaik bagi hamba-hamba yang disempitkan rezekinya oleh Allah. Seperti Bilal ra, Ibnu Mas'ud ra, Ammar bin Yasir ra, atau yang semisal dengan mereka, yang mulia dalam kefakiran. Rezeki telah ditetapkan, sedang kaya atau miskin, Allah lebih tahu kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Mu'adz , “Jangan lupa berdoa setelah shalat, 'Ya Allah, tolonglah hamba agar senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baik ibadah."
Jadi yang penting adalah bagaimana kita bisa beribadah kepada Allah sebaik-baiknya di seluruh keadaan kita. Selain karena ini adalah tujuan penciptaan manusia, juga karena inilah nikmat tertinggi di dalam hidup ini. Benarlah ucapan Hasan al-Bashri : "Barangsiapa yang melihat nikmat Allah hanya ada pada makanan, minuman, dan pakaian, berarti keilmuannya sangat minim dan adzabnya telah datang." Wallahu a'lam.
Gambar : Pixabay.com
Setan adalah musuh yang senantiasa berusaha menyesatkan manusia, Setan bisa mengenali kecenderungan kita itu, untuk kemudian menentukan manakah cara yang tepat untuk menyesatkan kita. Jika sikap malas dan menahan diri yang lebih dominan, setan akan menghalang-halangi, memberat-beratkan, serta mudah memberi alasan untuk meninggalkan sebuah kewajiban. Adapun jika sikap ringan dan berani maju yang dominan, maka setan akan mendorong kita untuk melampaui batas, serta menganggap sedikit apa yang telah kita kerjakan.
Inilah yang terjadi pada manusia dalam mematuhi bentuk perintah dan larangan Allah, sikap mengabaikan atau berlebih-lebihan. Oleh karena itu, sikap pertengahan selalu menjadi pilihan terbaik dan adil, meski tentu saja tidak mudah. Sebagiannya tergantung kepada kemampuan kita mengenali diri sendiri, dan kemampuan memilih strategi menghadapi godaan setan itu.
Demikian juga halnya dengan sikap kita terhadap kemapanan hidup, harta melimpah, fasilitas mewah, pakaian indah, rumah megah, atau makanan yang menggugah selera. Juga sikap kita terhadap ketidakmapanan yang bermakna kebalikan dari semua yang disebutkan di depan. Kita tidak boleh memihak salah satunya secara ekstrim. Terlalu cinta dunia hingga kehidupan dipergunakan seluruhnya untuk mengejarnya, kegagalan mendapatkannya dimaknai sebagai kegagalan hidup. Atau terlalu benci dunia, hingga seluruh perolehan dunia adalah nista di mata kita, hingga semua capaian yang didapat, meskipun halal tetap diartikan sebagai musibah perusak akhirat.
Pertama kali yang harus kita pahami, bahwasanya kekayaan atau kemiskinan, dua-duanya bersifat netral, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Dua-duanya bisa menjadi kendaraan iman dan dua-duanya juga bisa menjadi ujian, yang bisa membawa kita ke tingkat ketakwaan dan iman yang tinggi, namun juga bisa menjerumuskan dan melemparkan kita ke dalam kekafiran.
Kita tidak perlu menolak kekayaan jika Allah menghendaki demikian. Sebagaimana kita juga tidak boleh mengingkari kemiskinan jika demikianlah keadaan kita. Bersikap zuhud bukanlah berarti menolak dunia, sebab zuhud adalah meninggalkan yang tidak bermanfaat bagi akhirat kita. Hasan al-Bashri pernah berkata, "Zuhud terhadap dunia bukannya dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud adalah apa yang ada di tangan Allah, lebih kamu percayai daripada apa yang ada di tanganmu. Dan pahala musibah, jika mengenaimu, lebih kamu sukai daripada jika tidak menimpamu."
Di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa ada manusia yang jika dijadikan Allah sebagai orang kaya, maka keadaan itu akan mencelakakan dirinya. Namun ada juga manusia yang jika dijadikan Allah sebagai orang miskin, maka keadaan itu akan mencelakakan dirinya. Masing-masing memiliki keutamaan sendiri-sendiri. Artinya, mana yang lebih baik di antara keduanya; kaya atau miskin, adalah yang dengan keadaan itu kita menjadi bertakwa kepada Allah. Karena Allah tidak mengutamakan seorang hamba karena kekayaan atau kemiskinannya, melainkan Allah SWT akan mengutamakan seorang hamba diatas yang lain karena ketakwaannya.
Dari sinilah pentingnya mengenali kecenderungan diri kita masing-masing. Jika kita termasuk orang yang lebih bisa bertakwa di dalam kecukupan, maka hendaklah kita belajar banyak-banyak bersyukur. Sebab itulah yang terbaik bagi hamba-hamba yang diberi kelapangan rezeki oleh Allah. Dan Allah benar-benar ridha kepada seorang hamba yang memakan makanan dan meminum minuman, kemudian atas itu semua, dia memuji-Nya, seperti Abu Bakar ra, Utsman ra, Abdurrahman bin 'Auf ra, dan yang semisal dengan mereka yang mulia di dalam limpahan kekayaan. Mutharrif berkata, "Aku diberi kesehatan kemudian bersyukur atasnya, benar-benar lebih aku cintai daripada tertimpa musibah lalu bersabar."
Namun jika kita termasuk yang lebih bisa bertakwa dan istiqamah di atas keimanan dalam keadaan fakir, tentulah kita harus banyak bersabar. Sebab itulah yang terbaik bagi hamba-hamba yang disempitkan rezekinya oleh Allah. Seperti Bilal ra, Ibnu Mas'ud ra, Ammar bin Yasir ra, atau yang semisal dengan mereka, yang mulia dalam kefakiran. Rezeki telah ditetapkan, sedang kaya atau miskin, Allah lebih tahu kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Mu'adz , “Jangan lupa berdoa setelah shalat, 'Ya Allah, tolonglah hamba agar senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baik ibadah."
Jadi yang penting adalah bagaimana kita bisa beribadah kepada Allah sebaik-baiknya di seluruh keadaan kita. Selain karena ini adalah tujuan penciptaan manusia, juga karena inilah nikmat tertinggi di dalam hidup ini. Benarlah ucapan Hasan al-Bashri : "Barangsiapa yang melihat nikmat Allah hanya ada pada makanan, minuman, dan pakaian, berarti keilmuannya sangat minim dan adzabnya telah datang." Wallahu a'lam.
Sumber : Ust. Tri Asmoro Kurniawan, www.griyakeluargasakinah.com
Posting Komentar untuk "Kekayaan atau Kefakiran, Ujian dan Bentuk Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya"