Kisah Zainab Al-Kubra, Pejuang Dua Cinta
Hati Zainab yang sedang hamil muda dirundung gelisah saat melepas kepergian Abul 'Ash, suaminya, bersama dengan seribuan tentara Quraisy yang berangkat menuju Madinah untuk menyerang Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Bersama kedua anaknya, 'Ali dan Umamah, Zainab hanya bisa menunggu kabar berita tentang nasib suaminya dan nasib pasukan Quraisy dalam menghadapi pasukan Rasulullah SAW. Zainab hanya bisa berdoa semoga yang Allah memberikan yang terbaik bagi dirinya.
Masih terngiang di telinganya ucapan Abul 'Ash beberapa tahun yang lalu. Saat itu Abul 'Ash baru saja pulang dari perjalanan dagangnya. Selama ditinggal Abul 'Ash terjadi peristiwa besar di Mekah. Muhammad bin 'Abdullah, ayah Zainab yang juga mertua Abul 'Ash, mengaku mendapat wahyu dan diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahkan Islam. Zainab yang mengenal betul kepribadian sang ayah segera saja beriman. Tanpa menunggu kepulangan suaminya, karena iman memang tak boleh ditunda-tunda. Selain itu Zainab juga yakin suaminya akan mengikuti jalan yang telah terlebih dahulu dipilihnya.
Demi mendengar berita kedatangan Abul 'Ash, Zainab mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Persiapan untuk menyambut suami yang amat dicintainya dan persiapan untuk menyampaikan berita gembira: diutusnya ayah Zainab sebagai Nabi dan Rasul. Kata-kata terbaik telah dipilih oleh Zainab. Namun, dalamnya laut dapat dikira, dalamnya hati hanya Allah yang tahu. Abul 'Ash menampakkan raut wajah tidak suka. "Demi Allah, aku tidak menjelekkan ayahmu, hanya saja aku tidak senang jika dianggap sebagai orang yang demi menuruti istrinya, kemudian tega menghina kaumnya dan mengingkari tradisi nenek moyangnya," jawab Abul 'Ash.
Hati Zainab perih dan pilu. Citanya untuk mencintai suami terkasih di bawah terang cahaya cinta kepada Allah belum bisa diraihnya. Kehidupan rumah tangga Zainab pun mulai terasa hambar. Namun Zainab tidak ingin memperburuk citra Islam di mata suaminya. Siapa tahu seiring bergulirnya waktu hati Abul 'Ash terbuka.
Waktu itu wahyu yang mengharamkan hubungan pernikahan muslimah dengan orang kafir belum diturunkan. Dan hari itu, saat Abul 'Ash berpamitan berangkat ke medan perang Badar, hati Zainab benar-benar galau. Sekali lagi, Zainab hanya bisa berdoa untuk dua cintanya.
Kabar kekalahan pasukan Quraisy menghadapi pasukan Islam yang hanya berkekuatan 300-an personil sampai ke Mekkah. Zainab mencari-cari kabar suaminya, apakah ia termasuk yang kembali, ataukah yang terbunuh di tangan pasukan Islam, ataukah termasuk mereka yang tertawan.
Hatinya sedikit lega begitu tahu bahwa suaminya termasuk mereka yang tertawan. Dan lebih lega lagi, Rasulullah SAW menerima usulan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menawarkan bagi kerabat mereka yang tertawan untuk menebus mereka.
Zainab masuk rumah dan mengumpulkan barang berharga yang dimilikinya untuk menebus ayah kedua anak dan janin yang dikandungnya. Hati Zainab perih lagi. Harta itu tak cukup kecuali jika ditambah dengan kalung hadiah pernikahan dari ibunya, Khadijah. Seuntai kalung kenangan. Dengan berat hati Zainab melepasnya.
Ketika Rasulullah memperhatikan barang-barang yang dikirimkan oleh Zainab untuk menebus suaminya, Rasulullah melihat seuntai kalung indah yang pernah dihadiahkan oleh wanita yang paling dicintainya untuk puteri mereka berdua di hari pernikahannya. Beliau terharu. Pastilah Zainab tak punya harta lagi yang dapat digunakannya untuk menebus suaminya.
Air mata mengalir di pipi beliau, Sesaat kemudian beliau bersabda, "Jika kalian rela, bebaskanlah tawanan yang ditebus oleh Zainab dan kembalikanlah barang tebusannya!" Tidak ada seorang sahabat pun yang merasa keberatan untuk melakukannya. Maka dibebaskanlah Abul 'Ash dan dititipkan kepadanya barang-barang yang dikirimkan Zainab untuk menebusnya. Sebelum Abul 'Ash berangkat Rasulullah mengambil janji darinya supaya ia melepaskan Zainab, sebab telah turun wahyu yang menyebutkan bahwa Islam telah menceraikan mereka berdua.
Begitu Abul 'Ash rampak dari kejauhan, hati Zainab berbunga-bunga. Dan yang lebih menggembirakan lagi, kalung kenangan itu dikembalikan kepadanya. Dalam suka cita Zainab menangkap sesuatu yang tidak wajar pada suaminya. Wajahnya tampak muram, Segera Zainab menanyakan, gerangan apakah yang membuatnya bermuram durja.
Dengan berat hati Abul 'Ash menyampaikan amanat dari mertuanya. Zainab mendengarkannya dengan seksama dan rasa hatinya berloncatan. Ia memang sudah sangat rindu kepada ayahnya dan saudara-saudaranya, juga kepada saudara-saudara seimannya. Tetapi kenapa untuk itu ia mesti berpisah dengan belahan jiwanya? L.aki-laki gagah yang penuh tanggung jawab terhadap keluarganya? Tak dapatkah kedua cinta itu dipertemukan? Tak bisakah kedua rindu itu terobati sekaligus!
Zainab bersiap-siap untuk berhijrah, menggapai kesempurnaan cintanya kepada Allah SWT, itulah yang harus dilakukannya. Ini kali yang kedua, setelah beberapa waktu sebelumnya ia mencoba dengan dibantu oleh mantan suaminya meninggalkan tanah kelahirannya, Mekah, namun dihalang-halangi oleh orang-orang Quraisy. Dalam pada itu Zainab mengalami keguguran. Berat beban batin dan fisik yang ditanggungnya menyebabkannya.
Hari itu dia telah pulih. Maka disaat orang-orang Quraisy lengah, Abul 'Ash melepas kepergian Zainab yang diantar oleh Kinanah bin Rabi', saudara Abul 'Ash. Zainab dan Kinanah tiba di Madinah dengan selamat. Enam tahun sudah Zainab tinggal di Madinah di bawah pengawasan ayahnya, Rasulullah SAW. Selama itu dia tetap menjanda, cinta kasihnya telah ditumpahkannya kepada Abul 'Ash. Zainab masih berharap, suatu hari Abul 'Ash akan datang dengan cinta yang tak lagi berpenghalang. Dan hari itupun tiba. Saat Abul 'Ash mengikrarkan janji setia, kesanggupan untuk hanya beribadah kepada Allahd an meyakin ibahwa Muhammad adalah utusan Allah. Pohon cinta pun bertunas lagi.
Sumber : Ar-risalah, www.ar-risalah.or.id
Gambar : Pixabay.com
Masih terngiang di telinganya ucapan Abul 'Ash beberapa tahun yang lalu. Saat itu Abul 'Ash baru saja pulang dari perjalanan dagangnya. Selama ditinggal Abul 'Ash terjadi peristiwa besar di Mekah. Muhammad bin 'Abdullah, ayah Zainab yang juga mertua Abul 'Ash, mengaku mendapat wahyu dan diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahkan Islam. Zainab yang mengenal betul kepribadian sang ayah segera saja beriman. Tanpa menunggu kepulangan suaminya, karena iman memang tak boleh ditunda-tunda. Selain itu Zainab juga yakin suaminya akan mengikuti jalan yang telah terlebih dahulu dipilihnya.
Demi mendengar berita kedatangan Abul 'Ash, Zainab mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Persiapan untuk menyambut suami yang amat dicintainya dan persiapan untuk menyampaikan berita gembira: diutusnya ayah Zainab sebagai Nabi dan Rasul. Kata-kata terbaik telah dipilih oleh Zainab. Namun, dalamnya laut dapat dikira, dalamnya hati hanya Allah yang tahu. Abul 'Ash menampakkan raut wajah tidak suka. "Demi Allah, aku tidak menjelekkan ayahmu, hanya saja aku tidak senang jika dianggap sebagai orang yang demi menuruti istrinya, kemudian tega menghina kaumnya dan mengingkari tradisi nenek moyangnya," jawab Abul 'Ash.
Hati Zainab perih dan pilu. Citanya untuk mencintai suami terkasih di bawah terang cahaya cinta kepada Allah belum bisa diraihnya. Kehidupan rumah tangga Zainab pun mulai terasa hambar. Namun Zainab tidak ingin memperburuk citra Islam di mata suaminya. Siapa tahu seiring bergulirnya waktu hati Abul 'Ash terbuka.
Waktu itu wahyu yang mengharamkan hubungan pernikahan muslimah dengan orang kafir belum diturunkan. Dan hari itu, saat Abul 'Ash berpamitan berangkat ke medan perang Badar, hati Zainab benar-benar galau. Sekali lagi, Zainab hanya bisa berdoa untuk dua cintanya.
Kabar kekalahan pasukan Quraisy menghadapi pasukan Islam yang hanya berkekuatan 300-an personil sampai ke Mekkah. Zainab mencari-cari kabar suaminya, apakah ia termasuk yang kembali, ataukah yang terbunuh di tangan pasukan Islam, ataukah termasuk mereka yang tertawan.
Hatinya sedikit lega begitu tahu bahwa suaminya termasuk mereka yang tertawan. Dan lebih lega lagi, Rasulullah SAW menerima usulan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menawarkan bagi kerabat mereka yang tertawan untuk menebus mereka.
Zainab masuk rumah dan mengumpulkan barang berharga yang dimilikinya untuk menebus ayah kedua anak dan janin yang dikandungnya. Hati Zainab perih lagi. Harta itu tak cukup kecuali jika ditambah dengan kalung hadiah pernikahan dari ibunya, Khadijah. Seuntai kalung kenangan. Dengan berat hati Zainab melepasnya.
Ketika Rasulullah memperhatikan barang-barang yang dikirimkan oleh Zainab untuk menebus suaminya, Rasulullah melihat seuntai kalung indah yang pernah dihadiahkan oleh wanita yang paling dicintainya untuk puteri mereka berdua di hari pernikahannya. Beliau terharu. Pastilah Zainab tak punya harta lagi yang dapat digunakannya untuk menebus suaminya.
Air mata mengalir di pipi beliau, Sesaat kemudian beliau bersabda, "Jika kalian rela, bebaskanlah tawanan yang ditebus oleh Zainab dan kembalikanlah barang tebusannya!" Tidak ada seorang sahabat pun yang merasa keberatan untuk melakukannya. Maka dibebaskanlah Abul 'Ash dan dititipkan kepadanya barang-barang yang dikirimkan Zainab untuk menebusnya. Sebelum Abul 'Ash berangkat Rasulullah mengambil janji darinya supaya ia melepaskan Zainab, sebab telah turun wahyu yang menyebutkan bahwa Islam telah menceraikan mereka berdua.
Begitu Abul 'Ash rampak dari kejauhan, hati Zainab berbunga-bunga. Dan yang lebih menggembirakan lagi, kalung kenangan itu dikembalikan kepadanya. Dalam suka cita Zainab menangkap sesuatu yang tidak wajar pada suaminya. Wajahnya tampak muram, Segera Zainab menanyakan, gerangan apakah yang membuatnya bermuram durja.
Dengan berat hati Abul 'Ash menyampaikan amanat dari mertuanya. Zainab mendengarkannya dengan seksama dan rasa hatinya berloncatan. Ia memang sudah sangat rindu kepada ayahnya dan saudara-saudaranya, juga kepada saudara-saudara seimannya. Tetapi kenapa untuk itu ia mesti berpisah dengan belahan jiwanya? L.aki-laki gagah yang penuh tanggung jawab terhadap keluarganya? Tak dapatkah kedua cinta itu dipertemukan? Tak bisakah kedua rindu itu terobati sekaligus!
Zainab bersiap-siap untuk berhijrah, menggapai kesempurnaan cintanya kepada Allah SWT, itulah yang harus dilakukannya. Ini kali yang kedua, setelah beberapa waktu sebelumnya ia mencoba dengan dibantu oleh mantan suaminya meninggalkan tanah kelahirannya, Mekah, namun dihalang-halangi oleh orang-orang Quraisy. Dalam pada itu Zainab mengalami keguguran. Berat beban batin dan fisik yang ditanggungnya menyebabkannya.
Hari itu dia telah pulih. Maka disaat orang-orang Quraisy lengah, Abul 'Ash melepas kepergian Zainab yang diantar oleh Kinanah bin Rabi', saudara Abul 'Ash. Zainab dan Kinanah tiba di Madinah dengan selamat. Enam tahun sudah Zainab tinggal di Madinah di bawah pengawasan ayahnya, Rasulullah SAW. Selama itu dia tetap menjanda, cinta kasihnya telah ditumpahkannya kepada Abul 'Ash. Zainab masih berharap, suatu hari Abul 'Ash akan datang dengan cinta yang tak lagi berpenghalang. Dan hari itupun tiba. Saat Abul 'Ash mengikrarkan janji setia, kesanggupan untuk hanya beribadah kepada Allahd an meyakin ibahwa Muhammad adalah utusan Allah. Pohon cinta pun bertunas lagi.
Sumber : Ar-risalah, www.ar-risalah.or.id
Posting Komentar untuk " Kisah Zainab Al-Kubra, Pejuang Dua Cinta"